11.
Khutbah Jahiliyah
Khutbah ialah kalimat ringkas yang lafaznya jelas, maknanya
mendalam, sajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama), khutbah
juga sering dipadukan dengan puisi, hikmah dan matsal.
Misalnya ialah khutbah yang disampaikan oleh Aktsam ibn Shaifi ibn
Rabah ibn al-Harits al-Tamimy.
خُطْبَة
أكثم
إِنَّ
أَفْظَلَ الأَشْيَاءِ أَعَالِيْهَا، وَأَعْلَى الرِّجَال مُلُوكُهُمْ، وَ أَفْضَلَ
الْمُلُوْكِ أَعَمُّهَا نَفْعًا، وَخَيْرَ الأَزْمِنَةِ أَخْصَبُهَا ، وَأَفْضَلَ
الْخُطَبَاءِ أَصْدَقُهَا. الصِدْقُ مُنْجَاةٌ، وَالْكَذِبُ مُهْوَاةٌ، وَالشَّرُّ
لُجَاجَةً، وَالْحَزْمُ مُرَكَّبٌ صَعْبٌ. وَالْعَجْزُ مُرَكَّبٌ وَطِئٌ ، آفَةُ الرَأْي
الهَوَى ، وَالْعَجْزُ مِفْتَاحُ الفَقر، وَخَيْرُ الأُمُورِ الصَبْرُ، وَحُسْنُ
الظَنِّ وَرْطَةٌ، وَسُوْءُ الظَنِّ عِصْمَةٌ. إِصْلَاحُ فَسَادِ الرَعِيََةِ
خَيْرٌ مِنْ إِصْلَاحِ فَسَادِ الرَاعِي. مَنْ فَسَدَتْ بطَانَتُهُ كَانَ
كَالْغَاص بِالْمَاء. شَرُّ الْبَلَادِ بِلاَدٌ لاَ أَمْيْرَبها. شَرُّ
الْمُلُوْكِ مَنْ خَافَهُ الْبَرىْءُ. الْمَرْءُ يَعْجِزُ لاَ الْمَحَالَة.
أَفْضَلُ الأَوْلاَدِ الْبَرَرَةُ خَيْرُ الأَعْوَانِ مَنْ لَمْ يُرَاءِ بِالنَصِيْحَةِ.
أّحَقُّ الْجُنُودِ بِالنَصْرِ مَنْ حَسُنَتْ سَرِيْرَتُهُ. يَكْفِيْكَ مِنَ
الزَادِ مَا بَلَغَكَ الْمَحَلُّ حَسْبُكَ مِنْ شَرِّ سِمَاعُهُ. الصُمْتُ حُكْمٌ
وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ. البَلاغة الإِيْجَازُ. مَنْ شَدَّدَ نَفَّرَ ، وَمَنْ
تَرَاخَى تَأَلَّفَ.
“Sesuatu yang paling utama ialah
yang paling tinggi, sedang orang yang paling tinggi ialah raja dan raja yang
paling utama ialah yang paling banyak manfaatnya. Zaman yang paling baik, ialah
yang paling subur, sedang khotib yang paling utama ialah yang paling jujur.
Kejujuran itu menyelamatkan sedang dusta itu mencelakakan dan menjatuhkan.
Kejahatan itu keji. Kemauan yang tinggi tempat timbunan kesukaran sedang
kelemahan tempat timbunan kemudahan. Penyakitnya pendapat ialah angin-anginan.
Ketidakmampuan itu kuncinya kefakiran dan sebaik-baik sesuatu ialah kesabaran.
Selalu berprasangka baik adalah kehancuran sedang berprasangka buruk adalah
penjagaan. Memperbaiki kerusakan rakyat (bawahnya) lebih baik daripada
memperbaiki pemimpin. Barangsiapa rusak temannya bagaikan ia tenggelam dalam
air. Negara yang jelek adalah negara yang tak mempunyai pimpinan. Raja paling
jelek adalah raja yang ditakuti oleh orang-orang benar. Kelemahan seseorang
bukanlah hal yang mustahil. Sebaik-baik anak adalah yang terus terang. Kawan
yang paling baik adalah kawan yang tanpa pamrih dalam memberi nasihat. Tentara
yang berhak menerima kemenangan ialah yang murni niatnya. Cukuplah bekal
untukmu yang menyempitkan tempat. Cukuplah bagimu kejahatan sekedar mendengar.
Diam itu suatu hikmah tetapi jarang orang yang memakainya. Balaghah itu adalah
ijaaz. Barangsiapa berlaku keras akan terisolir dan barangsiapa bersikap lunak
akan terkumpul orang di sekitarnya dan mencintainya.”
وَكَانَ فِي خُطْبَةِ قَلِيْلُ الْمجَاز ،
حُسْنُ الإِيْجَاز، حُلُوّ الْأَلْفَاظ دقِيق الْعَمَانِى، مُوْلَعَا
بالْأَمْثَال، لاَ يَلْتَزِمِ السَجَعِ، يَمِيْل إِلَى الأقناع بِالْبُرْهَان،
وَيَتَعَمِّد فِي خَطَابَتِهِ عَلَى قُوَّة تَأْثِيْرهِ وَشِدَّة عَارِضَته،
لاَعَلَى المُبَالَغَة وَالتَّهْوِيِل وَمِنْ جَيِّد خُطَبه خُطْبَتُهُ أَمَامَ
كَسْرَى.
Pada
khutbah Aktsam ini, ia sedikit menggunakan majaz, ringkas dan ijaz,
kata-katanya manis dan artinya sangat dalam. Ia cenderung untuk menggunakan
mutsul-mutsul dan tidak mengharuskan adanya sajak. Dalam meyakinkan sesuatu
pada orang lain, ia selalu menggunakan bukti-bukti. Dalam khutbahnya, ia
bersandar pada pengaruhnya yang kuat dan suaranya yang lantang, tidak bersandar
pada hal-hal yang berlebih-lebihan dan menakut-nakuti (Iskandary, dalam
Wargadinata, 2008: 171)
Aktsam
menyuarakan khutbahnya dengan penuh perasaan yang memuliakan manusia. Ia
memakai banyak diksi yang sesuai dengan konteks yang sedang terjadi pada
kehidupan saat itu. Di antaranya ia menggunakan realita-realita sebagai acuan ungkapan
antusiasmenya dalam berkhutbah. Dari realita-realita itulah yang menunjukkan
bahwa ia berkhutbah untuk khalayak dengan tujuan agar khalayak mampu memahami
dan melaksanakan ujaran-ujaran yang ada pada khutbah tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Ujaran Aktsam tersebut dimulai dengan adanya kata إِنَّ yang berarti ‘sesungguhnya’ atau
‘bahwasanya’. Kata tersebut jika dimaknai lebih dalam, mempunyai unsur ‘penekanan’
yang mengarah pada kalimat selanjutnya. Kata إِنَّ juga menggambarkan suatu fakta
realita yang menjelaskan suatu keadaan. Hal ini bisa dilihat pada kalimat
pertama yang menyatakan bahwa إِنَّ أَفْظَلَ الأَشْيَاءِ أَعَالِيْهَا،
وَأَعْلَى الرِّجَال مُلُوكُهُمْ، وَ أَفْضَلَ الْمُلُوْكِ أَعَمُّهَا نَفْعًا،
وَخَيْرَ الأَزْمِنَةِ أَخْصَبُهَا ، وَأَفْضَلَ الْخُطَبَاءِ أَصْدَقُهَا.. “Sesuatu
yang paling utama ialah yang paling tinggi, sedang orang yang paling tinggi
ialah raja dan raja yang paling utama ialah yang paling banyak manfaatnya. Zaman
yang paling baik, ialah yang paling subur, sedang khotib yang paling utama ialah
yang paling jujur”
Pernyataan ini sederhana tapi sangat mengena. Ia menggambarkan bahwa secara
tidak langsung kedudukan yang paling utama ialah raja atau seorang pemimpin.
Pemimpin yang hebat ialah yang bertanggungjawab dan mampu memberi manfaat terhadap
masyarakat dan kaumnya. Dari kalimat ini, bisa digaris bawahi bahwa kata أَفْظَلَ yang
artinya ‘yang paling utama’ mengalami التأكيد (penekanan) dan terus diulang. Kata أَفْظَلَ
berasal dari فضلَ -
يفضلُ , artinya melebihi, mengatasi.
(Al-Munawwir, 1997: 1061).
Kata tersebut mengalami pola tafdhil tingkat superlatif
yang menyatakan suatu kualitas atau keadaan yang paling tinggi, yaitu ‘paling
utama’. Dari kalimat tersebut, menandakan bahwasanya untuk mencapai derajat
yang agung, maka seseorang harus mampu memberi manfaat kepada lingkungan
sekitar, termasuk masyarakat. Tidak hanya kata أَفْظَلَ yang
mengalami tafdhil tingkat superlatif, tapi ada kata lain yang mempunyai unsur
yang sama, di antaranya َأَعْلَى yang
mengalami tingkat superlatif, yang artinya ‘paling tinggi’.
Pada
kalimat selanjutnya, الصِدْقُ مُنْجَاةٌ، وَالْكَذِبُ مُهْوَاةٌ ،
وَالشَّرُّ لُجَاجَةٌ، وَالْحَزْمُ مُرَكَّبٌ صَعْبٌ ، . yang
artinya “Kejujuran itu menyelamatkan sedang dusta itu mencelakakan dan
menjatuhkan. Kejahatan itu keji.”, pada kalimat tersebut sangat tepat
sekali uslub serta tataran kalimatnya yang marfu’ semua. Kata الصِدْقُ, الْكَذِبُ, الشَّرُّ dan الْحَزْمُ ialah
isim (kata benda) yang disifati dengan مُنْجَاةٌ, مُهْوَاةٌ, لُجَاجَةٌ, مُرَكَّبٌ
صَعْبٌ. Dalam
kalimat khutbah tersebut sangat jelas sekali pengungkapan pesannya. Tidak ada
unsur majaz yang terkandung. Akan tetapi, prosa khutbah ini sangat mendalam
sekali bila dicerna. Seolah Aktsam mempengaruhi pendengar dengan kata-katanya
yang indah dan bersifat naratif. Perkataannya pun memang benar adanya bila
sesuatu yang buruk itu akan berakibat buruk pula. Sedangkan perbuatan baik,
maka hasilnya pun juga baik.
Pada
kalimat berikutnya, وَالْعَجْزُ
مُرَكَّبٌ وَطِئٌ ، آفَةُ الرَأْي الهَوَى ، وَالْعَجْزُ مِفْتَاحُ الفَقر،
وَخَيْرُ الأُمُورِ الصَبْرُ، وَحُسْنُ الظَنِّ وَرْطَةٌ، وَسُوْءُ الظَنِّ
عِصْمَةٌ , “Kemauan
yang tinggi tempat timbunan kesukaran sedang kelemahan tempat timbunan
kemudahan. Penyakitnya pendapat ialah angin-anginan. Ketidakmampuan itu
kuncinya kefakiran dan sebaik-baik sesuatu ialah kesabaran.” Dalam syair ini Aktsam mulai menggunakan sedikit majaz
dalam mengungkapkan pesannya. Hal ini bisa dilihat pada kata آفَةُ
الرَأْي الهَوَى, ‘penyakitnya
pendapat ialah angin-anginan’ kata angin-anginan di sini bukanlah angin yang
sesungguhnya, melainkan ada majaz atau makna yang bukan sebenarnya. Kalimat
tersebut bisa diartikan sebagai ‘perusak akal sehat manusia adalah hawa
nafsunya’. Angin-anginan bermakna hawa nafsu. Hawa nafsu itu sendiri ada yang
baik dan ada yang buruk. Oleh karena itu, Jika manusia kebanyakan berpendapat atau
mengandai-andai tapi sedikit bertindak, maka itu akan menjadi penyakit yang
bisa menggerogoti jiwa dan pikiran. Jadi, manusia harus bisa menempatkan hawa
nafsunya agar tidak menjadi penyakit yang bisa membuat manusia itu menjadi
lemah dalam menjalani hidup.
Kalimat
yang selanjutnya, إِصْلَاحُ فَسَادِ الرَعِيََةِ خَيْرٌ مِنْ
إِصْلَاحِ فَسَادِ الرَاعِي، مَنْ فَسَدَتْ بطَانَتُهُ كَانَ كَالْغَاص بِالْمَاء.
شَرُّ الْبَلَادِ بِلاَدٌ لاَ أَمْيْرَبها, “Selalu
berprasangka baik adalah kehancuran sedang berprasangka buruk adalah penjagaan.
Memperbaiki kerusakan rakyat (bawahnya) lebih baik daripada memperbaiki
pemimpin. Barangsiapa rusak temannya bagaikan ia tenggelam dalam air. Negara
yang jelek adalah negara yang tak mempunyai pimpinan”, dalam syair ini
Aktsam justru memasangkan kata prasangka baik dengan kehancuran, begitu pula
dengan prasangka buruk dengan penjagaan. Hal ini justru terbalik penyamaannya
di negara kita, Indonesia. Selama ini, kita mengenal bahwa prasangka baik
dipasangkan dengan penjagaan, sedang prasangka buruk dipasangkan dengan
kehancuran. Mungkin, dalam syair ini, Aktsam mengungkapkan bahwa orang yang
selalu berprasangka baik dan seolah tidak ada kekurangan sedikit pun terhadap
orang yang dinilai, itu akan justru membuat orang yang berprasangka tadi mudah
untuk dikelabuhi dan dibohongi, sehingga muncullah kehancuran. Begitu pula
sebaliknya, jika orang berprasangka buruk, itu merupakan penjagaan. Karena,
berprasangka buruk di sini bukan semata-mata tidak pernah berprasangka baik,
akan tetapi mungkin lebih meningkatkan kehati-hatian dalam hidup sosial. Dengan
kehati-hatian tersebut, maka manusia akan tetap pada penjagaannya. Kemudian,
dalam syair selanjutnya ada unsur majaz pada kata مَنْ
فَسَدَتْ بطَانَتُهُ كَانَ كَالْغَاص بِالْمَاء , pada
syair ini مَنْ
فَسَدَتْ بطَانَتُهُ كَانَ menjadi
musyabbah (yang hendak diserupakan), sedangkan
كَالْغَاص بِالْمَاء menjadi
musyabbah bih (sesuatu yang diserupakan dengan keserupaan dari musyabbah). Pada
kata tersebut hurf كَ menjadi adat tasybih yang berfungsi
sebagai alat yang menjelaskan keadaan musyabbah terhadap musyabbah bih.
Kemudian
beralih dengan kalimat selanjutnya, شَرُّ
الْمُلُوْكِ مَنْ خَافَهُ الْبَرىْءُ. الْمَرْءُ يَعْجِزُ لاَ الْمَحَالَة.
أَفْضَلُ الأَوْلاَدِ الْبَرَرَةُ خَيْرُ الأَعْوَانِ مَنْ لَمْ يُرَاءِ
بِالنَصِيْحَةِ. أّحَقُّ الْجُنُودِ بِالنَصْرِ مَنْ حَسُنَتْ سَرِيْرَتُهُ.
يَكْفِيْكَ مِنَ الزَادِ مَا بَلَغَكَ الْمَحَلُّ حَسْبُكَ مِنْ شَرِّ سِمَاعُهُ , “Raja
paling jelek adalah raja yang ditakuti oleh orang-orang benar. Kelemahan
seseorang bukanlah hal yang mustahil. Sebaik-baik anak adalah yang terus
terang. Kawan yang paling baik adalah kawan yang tanpa pamrih dalam memberi
nasihat. Tentara yang berhak menerima kemenangan ialah yang murni niatnya. .
Cukuplah bekal untukmu yang menyempitkan tempat. Cukuplah bagimu kejahatan
sekedar mendengar.” Dalam syair ini lagi-lagi Aktsam menggunakan kata أَفْضَلُ sebagai التأكيد atau penekanan. Hal ini terus diulang oleh
Aktsam supaya pendengar merasa yakin akan apa yang ia katakan.
, الصُمْتُ حُكْمٌ وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ. البَلاغة
الإِيْجَازُ. مَنْ شَدَّدَ نَفَّرَ ، وَمَنْ تَرَاخَى تَأَلَّفَ. ,
“Diam itu suatu hikmah tetapi jarang
orang yang memakainya. Balaghah itu adalah ijaaz. Barangsiapa berlaku keras
akan terisolir dan barangsiapa bersikap lunak akan terkumpul orang di
sekitarnya dan mencintainya” Aktsam
dalam syair khutbahnya yang terakhir mengatakan perkataan seolah seperti sabda
Nabi yang menjelaskan tentang perbuatan dengan balasan yang akan diterima, oleh
karena itu ia menggunakan kata مَنْ yang
artinya ‘barangsiapa’ berfungsi sebagai syarat, lalu تَأَلَّفَ sebagai
balasan dari kata مَنْ .
2.
Wasiat Jahiliyyah
Wasiat
adalah nasehat seseorang yang akan meninggal dunia atau akan berpisah kepada
seorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk mengerjakan sesuatu.
Wasiat
di bawah ini disampaikan oleh Dzul Isba’ Al-adwany untuk putranya Usaid. Pada
saat itu, Dzul Isba’ Al-‘Adwani merasakan ajalnya sudah dekat, lalu ia
memanggil anaknya Usaid. Ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi
mewujudkan kedudukan yang mulia di tengah manusia dan menjadikannya seorang
yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya, ia berkata:
يَا
بُنَيَّ ، إِنَّ أَبَاكَ قَدْ فَنِيَ وَهُوَ حَيُّ، وَعَاشَ حَتَّى سَئِمَ
الْعَيْشَ، وَاِنِّي مُوْصِيْكَ بمَا إِنْ حَفِظْتَهُ بَلَغْتَ فِي قَوْمِكَ مَا
بَلَغْتُهُ فَاحْفَظْ عَنِّي :
أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يَحِبُّوكَ،
وَتَوَاضَعْ لَهُمْ يَرْفَعُوْكَ وَابْسُطْ لَهُمْ وَجْهَكَ يُطِيْعُوْكَ، وَلاَ
تَسْتَأْثِرْ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ يُسَوِّدُوْكَ وَأَكْرِمْ صِغَارَهُمْ كَمَا
تُكْرِمْ كِبَارَهُمْ، يُكْرِمْكَ كِبَارُهُمْ وَيَكبَرْ عَلَى مَوَدْتِكَ
صِغَارُهُمْ، وَاسْمَحْ بمَالِكَ، وَاحْم حَريْمَكَ وَأَعْزِزْ جَارَكَ، وَأَعِنْ
مَنِ اسْتَعَانَ بِكَ، وَأَكْرِمْ ضَيْفَكَ ، وَأَسِْرعْ النَهْضَةَ فِي
الصّرِيْخِ، فَإِنْ لَكَ أَجَلاً لاَ يَعْدُوْكَ، وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْأَلَةِ
أَحَدٍ شَيْنًا، فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدُدُكَ.
“Wahai anakku, sesungguhnya bapakmu ini telah fana tapi masih
hidup. Bapakmu ini sudah hidup terlalu lama sehingga bosan hidup. Aku berwasiat
kepadamu jika engkau menjalankannya, maka engkau akan mencapai kedudukan di
kalangan kaummu seperti kedudukanku pada kaumku.
Bersikap lemah lembutlah kepada mereka, maka mereka akan
mencintaimu. Merendah dirilah kepada mereka, maka derajatmu akan ditinggikan.
Bermuka manislah kepada mereka, maka mereka akan mentaatimu. Janganlah engkau
mementingkan kepentingan dirimu sendiri, maka engkau akan dihormati.
Muliakanlah yang kecil (muda), sebagaimana engkau memuliakan yang besar (tua),
maka yang tua akan memuliakanmu, dan yang muda akan lebih mencintaimu.
Berdermalah dengan hartamu, jagalah istrimu, muliakanlah tetanggamu, bantulah
orang yang meminta bantuanmu, hormatilah tamumu, bergegaslah ketika mendengar
jeritan minta tolong. Sesungguhnya kamu memiliki kemuliaan yang terus
memburumu, jagalah dirimu meminta sesuatu dari orang lain. Maka dengan demikian
menjadi sempurnalah martabat dan kharismamu.” (al Maliji, 1989: 44, Mursyidi, t.t.: 109-110, dalam
Wargadinata, 2008: 180)
Dalam
wasiat yang disampaikan Isba’ tersebut, ia menggunakan bahasa perintah yang
mengarah kepada putranya, Usaid. Menandakan bahwa dirinya tidak lama lagi akan
meninggalkan dunia. Bisa dilihat pada kalimat pertama dalam wasiat tersebut, يَا
بُنَيَّ ، إِنَّ أَبَاكَ قَدْ فَنِيَ وَهُوَ حَيُّ، وَعَاشَ حَتَّى سَئِمَ
الْعَيْشَ، وَاِنِّي مُوْصِيْكَ بمَا إِنْ حَفِظْتَهُ بَلَغْتَ فِي قَوْمِكَ مَا
بَلَغْتُهُ فَاحْفَظْ عَنِّي , “Wahai
anakku, sesungguhnya bapakmu ini telah fana tapi masih hidup. Bapakmu ini sudah
hidup terlalu lama sehingga bosan hidup. Aku berwasiat kepadamu jika engkau
menjalankannya, maka engkau akan mencapai kedudukan di kalangan kaummu seperti
kedudukanku pada kaumku.” , mengawali wasiatnya, Isba’ menggunakan نِدَاء yang merupakan
kata panggilan kepada anaknya يَا
بُنَيَّ (wahai
anakku). Isba’ menggunakan syarat dan akibat yang akan diterima dari syarat
tersebut dalam kalimat wasiatnya. Bisa dilihat pada وَاِنِّي
مُوْصِيْكَ بمَا إِنْ حَفِظْتَهُ بَلَغْتَ فِي قَوْمِكَ مَا بَلَغْتُهُ فَاحْفَظْ
عَنِّي , ”Aku
berwasiat kepadamu jika engkau menjalankannya, maka engkau akan mencapai
kedudukan di kalangan kaummu seperti kedudukanku pada kaumku.” Dalam kalimat tersebut, ada kata ‘jika’ dan ‘maka’. ‘Jika’
merupakan syarat yang disampaikan oleh Isba kepada putranya, dan ‘maka’ ialah
balasan yang akan didapat dari ‘maka’. Isba’ pun berwasiat dengan mencontohkan
dirinya sendiri sebagai teladan yang patut dicontoh oleh anaknya. Hal ini bisa
dilihat pada kalimat ”maka engkau akan mencapai kedudukan di kalangan kaummu
seperti kedudukanku pada kaumku”.
Pada kalimat
berikutnya, أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يَحِبُّوكَ،
وَتَوَاضَعْ لَهُمْ يَرْفَعُوْكَ وَابْسُطْ لَهُمْ وَجْهَكَ يُطِيْعُوْكَ، وَلاَ
تَسْتَأْثِرْ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ يُسَوِّدُوْكَ وَأَكْرِمْ صِغَارَهُمْ كَمَا
تُكْرِمْ كِبَارَهُمْ، يُكْرِمْكَ كِبَارُهُمْ وَيَكبَرْ عَلَى مَوَدْتِكَ
صِغَارُهُمْ، , “Bersikap
lemah lembutlah kepada mereka, maka mereka akan mencintaimu. Merendah dirilah
kepada mereka, maka derajatmu akan ditinggikan. Bermuka manislah kepada mereka,
maka mereka akan mentaatimu. Janganlah engkau mementingkan kepentingan dirimu
sendiri, maka engkau akan dihormati. Muliakanlah yang kecil (muda), sebagaimana
engkau memuliakan yang besar (tua), maka yang tua akan memuliakanmu, dan yang
muda akan lebih mencintaimu.” , dalam wasiat tersebut, Isba’ menggunakan
gaya bahasa yang santun, penuh aura dan menyentuh hati. Ia memakai bahasa yang
sesuai dengan keadaan. Ia juga menggunakan ‘jika’ dan ‘maka’. Seolah ia
berwasiat dengan menyampaikan fakta atau realita yang sudah ia dapatkan dari
nasihat-nasihat tersebut. Lalu, fakta-fakta tersebut ia sampaikan kepada
puteranya agar puteranya mampu menjadi seperti dirinya yang bersikap sosial dan
menghormati yang muda dan yang tua. Intinya, kalimat wasiat tersebut sangat
bersifat naratif yang mungkin mampu memikat hati puteranya untuk melakukan apa
yang ia sampaikan sebagai pesan terakhir kepada puteranya.
وَاسْمَحْ بمَالِكَ، وَاحْم حَريْمَكَ
وَأَعْزِزْ جَارَكَ، وَأَعِنْ مَنِ اسْتَعَانَ بِكَ، وَأَكْرِمْ ضَيْفَكَ ،
وَأَسِْرعْ النَهْضَةَ فِي الصّرِيْخِ، فَإِنْ لَكَ أَجَلاً لاَ يَعْدُوْكَ،
وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْأَلَةِ أَحَدٍ شَيْنًا، فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدُدُكَ.
”Berdermalah dengan hartamu, jagalah istrimu, muliakanlah
tetanggamu, bantulah orang yang meminta bantuanmu, hormatilah tamumu,
bergegaslah ketika mendengar jeritan minta tolong. Sesungguhnya kamu memiliki
kemuliaan yang terus memburumu, jagalah dirimu meminta sesuatu dari orang lain.
Maka dengan demikian menjadi sempurnalah martabat dan kharismamu.” , Isba’ mewasiatkan puteranya untuk menghormati siapapun.
Ia mengajak puteranya untuk peka dengan keadaan sekitar, maka ia mengatakan وَأَسِْرعْ
النَهْضَةَ فِي الصّرِيْخِ (bergegaslah
ketika mendengar jeritan minta tolong). Isba’ juga menggunakan kata إِنْ (sesungguhnya)
yang berarti sesuatu yang ada pada diri puteranya, فَإِنْ
لَكَ أَجَلاً لاَ يَعْدُوْكَ، وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْأَلَةِ أَحَدٍ شَيْنًا،
فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدُدُكَ
yaitu Sesungguhnya kamu memiliki kemuliaan yang terus memburumu,
jagalah dirimu meminta sesuatu dari orang lain. Maka dengan demikian menjadi
sempurnalah martabat dan kharismamu.
Jelaslah
wasiat Isba’ yang ditujukan kepada puteranya. Semua kata-katanya banyak menggunakan
kalimat perintah (فعل أمر) yang
harus dikerjakan oleh puteranya. Dari awal hingga akhir wasiat ini mengarah
pada kata kerja perintah yang menunjukkan جملة
فعلية, di antaranya kata أَلِنْ , وَتَوَاضَعْ , وَابْسُطْ , أَكْرِمْ , وَاسْمَحْ , وَاحْم , أَعْزِزْ dan أَسِْرعْ .
3.
Matsal Jahiliyah
Matsal
ialah ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas yang lahir dari suatu kejadian
kemudian menjadi terkenal dan menjadi pembicaraan orang banyak, hingga menjadi
perumpamaan atau kata-kata tiruan yang bertujuan untuk perbandingan nasihat,
prinsip hidup atau aturan tingkah laku. (Mursyidy, tt.: 123, dalam Wargadinata.
2008: 181)
Hudzail
ibn Hubairah al-Tagliby (Iskandary, 1978: 16, dalam Wargadinata, 2008: 182)
mengatakan matsalnya:
إِذَا
عَزَّ أَخُوْكَ فَهُنْ
“Kalau saudaramu memaksa,
hendaknya kamu mengalah”
Matsal ini menjelaskan sikap toleran dan tasamuh.
Bahwasanya, jika terjadi pemaksaan dalam suatu kaum/persaudaraan, maka salah
satu di antaranya harus mengalah agar masalah segera usai. Maka, dalam matsal
tersebut ada kata perintah فعل أمر yaitu
فَهُنْ (mengalahlah).
Dalam matsal lain, diungkapkan oleh
Abu Udzainah al-Lakhmy yang mendorong al-Aswad ibn al-Mundzir untuk membunuh
para tawanannya dari raja-raja Ghassasinah untuk tidak menerima fidyah tebusan.
لاَ تَقْطَعَنْ ذَنَبَ الأَفْعَى
وَتُرْسِلَهَا إِنْ كُنْتَ شَهْمًا فَاتْبِعْ رَأْسَهَا الذَنَبَا.
“Jangan kau potong ekor ular lalu kau lepaskan, kalau
engkau pandai bunuh sekalian kepala dan ekornya (mendorong untuk menumpas akar
kejadian).” (Iskandary,
1978: 17, dalam Wargadinata 2008: 187)
Matsal ini menjelaskan bahwa melakukan pembunuhan jangan
setengah-setengah. Udzainah melarang melakukan pembunuhan setelah itu
melepaskannya, karena itu akan mengakibatkan permusuhan yang lama. Jika niat
ingin membunuh, maka harus benar-benar tuntas hingga sasaran mati. Hal ini
dilakukan oleh Abu Udzainah yang mendorong al-Aswad untuk membunuh tawanan dari
raja Ghassasinah untuk tidak menerima fidyah tebusan. Maka, Udzainah
mengibaratkan pembunuhan tawanan itu dengan seekor ular. Sehingga ia berkata ذَنَبَ
الأَفْعَى (ekor
ular). Tarkib tersebut merupakan pola idhafi. ذَنَبَ menjadi
mudhaf, sedang الأَفْعَى menjadi mudhaf ilaih. Pada matsal tersebut, ia
mengatakan bahwa فَاتْبِعْ
رَأْسَهَا الذَنَبَا (bunuh
sekalian kepala dan ekornya). Dalam tarkib tersebut terdapat kata perintah (فعل
أمر) اتْبِعْ yang
artinya ‘bunuhlah’.
4.
Hikmah Jahiliyah
Hikmah
ialah ungkapan ringkas dan indah yang mengandung kebenaran yang dapat diterima
dan berisi petunjuk moral. Berbeda dengan matsal, hikmah biasanya lahir dari
orang-orang yang punya banyak pengalaman, ilmu tinggi dan pengetahuan yang
luas. Sebagaimana juga hikmah tidak terikat dengan kejadian tertentu.
(Wargadinata, 2008: 201).
Hikmah yang diucapkan oleh Afwah al-Awdy:
وَالْبَيْتُ لاَيُبْتَنَى إِلاَّ لَهُ عَمَدٌ وَ
لاَ عِمَاد إِذا لَمْ تُرْسَ أَوْتَادُ
وَسَاكِنُ بَلَغُوْا الأَمْرَ اَلَذِى
كَادُوْا فَإِنْ تُجْمَع أَوْتَادَ
وَأَعْمِدَةُ
وَلاَ سَرَاةَ إِذَا جُهَّالُهُمْ سَادُوْا لاَ يَصْلُحُ النَاسُ فَوْضَى لاَ
سَرَاةَلَهُمْ
فَإِنْ تَوَلَّتْ فَبالأَشْرَارِ تَنْقَادُ تَبْقىَ الأُمُوْرُ بأَهْلِ الرَأْىِ
مَاصَلُحَتْ
“Rumah
tidak akan berdiri kecuali memiliki tiang
dan tiang tidak akan bisa berdiri tanpa pondasi,
kalau digabungkan pondasi dengan tiang
dan penghuni rumah mereka akan dapat sampai pada tujuan
suatu kaum tidak akan bisa berhasil kalau tidak teratur
dan tidak
memiliki pemimpin dan pemimpin tidak akan berhasil kalau
yang
menjadi pemimpin adalah orang-orang bodoh,
segala sesuatu akan baik kalau ditangani orang yang
berilmu
apabila tidak dipegang oleh orang berilmu maka segala
urusan itu
akan dipimpin oleh orang-orang jahat” (Iskandary, 1978: 58, dalam Wargadinata, 2008: 205).
Hikmah tersebut berbentuk puisi. Dalam hikmah ini, diksi
yang digunakan ada hubungan timbal baliknya. Misal, bisa dilihat antara ‘rumah’
(الْبَيْتُ)
dengan ‘tiang’ (عَمَدٌ) ,
‘tiang’ (عَمَدٌ)
dengan ‘pondasi’ (أَوْتَادُ).
Ada keterkaitan hubungan antara keduanya sebagai komponen yang harus ada dalam penggambaran
mewujudkan rumah. Afwah menggambarkan suatu kaum tidak akan sejahtera jika
tidak ada pemimpinnya. Pemimpin tidak akan berhasil bila ia bodoh. Kepemimpinan
bisa berhasil bila dipegang oleh yang berilmu. Jika yang berilmu menghilang,
maka yang jahatlah yang merebut kekuasaan.
Hikmah jahiliyyah yang lain ialah
مَنْ عَزَّ بَزَّ
“Orang yang berkuasa dan kuat, biasanya menindas atau
merampas”
Dalam hikmah ini, singkat dan padat. Kata عَزَّ dalam
Munawwir berasal dari عَزَّ – يَعِزُّ yang
artinya ‘menjadi kuat’. Orang yang kuat, biasanya ia berkuasa dengan keadaan
dan kedudukan yang ia dapatkan. Sedangkan kata بَزَّ
ialah kata kerja (فعل) yang merupakan hubungan dengan
kata kerja sebelumnya, yaitu عَزَّ. Kata
بَزَّ berasal
dari بَزَّ – يبزُّ yang
artinya ‘mengambil dengan paksa, merampas’ (Munawwir, 1997: 81). Dari kalimat
tersebut, memang benar adanya dan sudah banyak fakta yang mengatakan demikian,
bahwa orang yang berkuasa ialah yang menindas dan merampas. Orang yang berkuasa
menganggap dirinya mempunyai hak segalanya dan tidak mementingkan hak orang
lain yang ada di sekitarnya atau kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA:
Wargadinata,
Wildana. dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab Lintas Budaya. Malang:
UIN Malang Press.
Munawwir,
Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar